Pages

Nov 12, 2004

Tentang Kompetisi

Saat berjalan di areal kampus GSU minggu lalu, ada sebuah pemandangan menarik yang dampaknya melekat di benak saya. Terjadi hanya beberapa detik, tapi sungguh menarik.

Saya berjalan ke luar Sparks Hall dan berpapasan dengan dua perempuan African American, tampaknya mahasiswa undergraduate. Kelihatannya dari gayanya :). Mereka tiba-tiba berhenti saat melihat selembar kertas pengumuman di pintu kaca. Dua-duanya tampak antusias membaca isinya, dan yang satu segera bergerak ke balik kaca tempat tertempelnya kertas tersebut. Dengan sudut mata, saya melihat itu adalah panggilan audisi untuk model iklan. Perempuan itu dengan hati-hati melepas kertas pengumuman dari kaca.

Hanya terjadi beberapa detik. Saya tidak berhenti ataupun menolehkan kepala dengan sengaja untuk memperhatikan kegiatan dua perempuan tersebut. Terjadi begitu singkat saat saya berjalan dengan kecepatan rata-rata. Tapi kejadian itu melekat di benak saya. Beberapa pertanyaan mengalir dan saya menjawabnya sendiri. Entah benar, entah tidak.

Kenapa dia melepas kertas pengumuman itu? Apakah dua perempuan itu memang pemasangnya, dan memutuskan untuk melepaskan karena sudah out of date? Tapi kalau memang mereka, kenapa ekspresi wajah yang saya tangkap adalah antusias, saat membaca pengumuman tersebut? Mungkinkah mereka melepas kertas itu supaya tidak ada orang lain yang tahu tentang panggilan audisi, atau paling tidak mengurangi jumlah orang yang tertarik? Kalau memang tidak, kenapa dilepas? Kalau iya, lalu kenapa? Supaya memperbesar probabilitas diterimanya perempuan ini untuk menjadi model iklan? Ingin mengurangi jumlah kompetitor?

Jadi ini ujung-ujungnya takut kompetisi? Bukankah hidup ini memang penuh dengan persaingan? Bukankah teori evolusi mengatakan spesies yang ada sampai saat ini adalah yang mampu bertahan hidup? Lalu kenapa takut dengan kompetisi?

Kompetisi bukannya untuk ditakuti. Tapi justru untuk dihadapi. Kalah atau menang dalam kompetisi menjadi agenda nomer ke sekian, bukan yang pertama. Kompetisi sesungguhnya adalah alat ukur kemampuan kita saat ini dan sejauh mana kita harus berkembang untuk bisa memenangkan kompetisi tersebut. Kalau memenangkan kompetisi saat ini, jangan juga lantas jadi jumawa. Masih ada lagi kompetisi tingkat lanjutan, yang istilahnya dalam dunia persilatan 'di atas langit masih ada langit!'. Kalau kalah dalam kompetisi, ya berarti masih banyak yang harus kita pelajari untuk bisa berkembang sesuai dengan standar kualitas saat ini.

Adakalanya, kita ingin mempermudah jalannya kompetisi. Dengan mengaturnya sedemikian rupa, sehingga jumlah seluruh peserta beserta kualitasnya ada di bawah standar. Dengan membuat tim penyeleksi bias sehingga hasil akhir kompetisi menjadi tidak sesuai dengan gambaran ideal.

Itulah kalau kompetisi dilihat sebagai sesuai yang negatif. Mendramatisir kekalahan sebagai sesuatu yang memalukan. Kompetisi tidak dihadapi dengan sikap ksatria. Kompetisi tidak disemangati dengan jiwa juang. Segala-galanya jadi ingin dibuat mudah. Dibuatkan jalan pintas. Supaya kita mencapai ambisi untuk berada di suatu titik tertentu, tanpa perjuangan, tanpa pengorbanan. Suatu hasil semata-mata dilihat sebagai suatu titik sukses, bukannya sebagai dampak dari sebuah proses perjuangan yang panjang.

Entah bagaimana kabar audisi yang diikuti oleh perempuan-perempuan African American itu. Apakah mereka jadi ikut kompetisi? Apakah hanya mereka berdua yang jadi peserta audisi? Apakah akhirnya mereka mendapat kontrak? Entah.

No comments: