Inspirasi untuk Terinspirasi
Sebuah Testimoni dari Kelas Inspirasi Bali di Bangli, 11 Juni 2013
Memberikan sebuah inspirasi kepada orang lain?
Pikiran ini terdengar seperti sebuah tugas besar, dan memberikan pertanyaan ke
dalam diri kami seperti ‘apakah sudah pantas kami berbagi tentang apa yang kami
kerjakan?’, ‘mungkinkah orang lain bisa tertarik dengan apa yang kami kerjakan?’.
Undangan untuk mendaftar kegiatan sukarela
“Kelas Inspirasi Bali” mendorong kami untuk membaca visi dan misi kegiatan
ini. Dari website-nya, kami membaca
bahwa Kelas Inspirasi adalah ekses dari Indonesia Mengajar, sebuah gerakan
nasional bagi para sarjana yang baru lulus untuk mengabdi sebagai tenaga
pendidik di daerah terpencil di Indonesia, yang khusus ditujukan bagi para profesional.
Para individu profesional ini harus bercerita di depan kelas di sekolah dasar
yang menjadi bagian kegiatan ini, dengan tema utama menceritakan tentang
pekerjaan yang digelutinya. Harapan besarnya adalah ‘kisah’ pekerjaan yang
dilakukan para profesional ini bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak SD agar
berani bermimpi mempunyai cita-cita yang setinggi langit. Latar belakang dan
tujuan kegiatan ini akhirnya membuat saya dan suami mendaftar untuk bisa
bergabung di Kelas Inspirasi Bali, yang pada tanggal 11 Juni 2013, memilih
sekolah dasar di Bangli sebagai tempat Kelas Inspirasi Bali.
Pada akhirnya, saya dan suami bergabung
bersama sebagai satu tim pengajar relawan Kelas Inspirasi Bali. Kami menjadi
tim dengan dasar pemikiran bahwa saya dan suami bekerja di perusahaan yang
sama, sebuah bisnis yang kami bangun bersama dari nol. Kami membawa pesan yang
sama bahwa profesi yang bisa digeluti anak-anak ini di masa mendatang mempunyai
batasan di angkasa. Kami ingin membuka wawasan anak-anak bahwa ilmu pasti tidak
selalu menjadi pegangan pasti kesuksesan manusia dalam hidupnya. Kami membawa
bukti bahwa hobi dan kecintaan akan seni, yang ditekuni dengan serius dan
tekun, akan menjadi bekal hidup di kemudian hari.
Mudahkah mengajar di hadapan anak-anak sekolah
dasar? Kami berdua mempunyai latar belakang sebagai penyiar Radio dan pembawa
acara atau MC di panggung. Namun tantangannya sangat berbeda bila hadirin kami
adalah anak-anak di bawah umur. Kami mempunyai tiga orang anak, masing-masing
berumur 13, 6 dan 1. Berbicara dengan ketiga anak ini memerlukan seni retorika
yang berbeda-beda, tentunya. Berbicara dengan anak-anak kecil yang belum bisa
membaca, tentu akan lebih mudah jika menggunakan bahasa gambar. Itulah yang
dilakukan oleh suami saya, yang memang berlatar belakang disain komunikasi
visual. Gambar-gambar yang menarik kami
tampilkan agar dinamika kelas dapat kami munculkan sesuai dengan karakter siswa
di setiap kelas. Kami tidak berbicara mengenai definisi sukses kepada anak-anak
ini, namun kami membawakan gambar-gambar foto pencapaian perusahaan kami,
bergerak di bidang penyelenggaraan acara, yang menangani berbagai acara
internasional , bahkan dibuka oleh Presiden Republik Indonesia.
Acara kami pagi tersebut diawali dengan berbicara
di hadapan anak-anak kelas 1 SD, yang tidak semuanya bisa membaca dan berbahasa
Indonesia dengan baik. Ditanya apakah
tahu artinya ‘cita-cita’, anak-anak tersebut tidak menjawab. Saya yang bisa berbahasa Bali, dibantu guru
kelas, kemudian menerjemahkannya ke dalam Bahasa Bali yang artinya “mau jadi
apa kalau sudah besar nanti?”. Jawaban
mereka? Dengan wajah lugu dan suara antusias, mereka berseru ‘polisi’, ‘tentara’,
‘dokter’, ‘guru’, ‘pelukis’, ‘pemain sepak bola’, ‘penari’, hampir secara
bersamaan.
Di kelas-kelas berikutnya, di luar profesi
favorit (polisi-guru-dokter), muncul cita-cita anak-anak SDN 3 Pengotan sebagai
pengusaha sapi, pengusaha bengkel, penggembala domba, pengusaha kue, koki,
bahkan pegawai restoran. Unik! Cara
mereka menjawab dan menjelaskan cita-citanya membuat kami selalu berusaha
menahan senyum akibat kepolosan kata-kata yang mengalir dari anak-anak Pengotan
ini.
Ketika kami tanyakan kepada mereka apakah
tujuannya mempunyai cita-cita, kebanyakan anak-anak memang tidak bisa
menjawabnya. Di luar dugaan kami, ada 1 atau 2 anak di kelas-kelas yang lebih
besar (kelas 5 dan kelas 6), bisa menjawab ‘agar ada tujuan hidup’, bahkan
‘agar tidak jadi pengangguran’. Mungkin jawaban itu didapat dari kelas para
relawan sebelumnya yang sudah masuk sebelum kami, tetapi itu artinya mereka
mengerti pentingnya memiliki cita-cita.
Kami mengingatkan anak-anak tersebut bahwa
setiap cita-cita adalah mulia, namun mereka harus rajin sekolah, bersikap
jujur, dan tidak pernah takut untuk berharap.
Kami mengingatkan agar mereka tidak boleh lupa membuat PR, karena itu
adalah bagian dari tanggung-jawab sebagai murid.
Di beberapa kelas, suami saya memutarkan video
hasil karya anak kami yang duduk di kelas 1 SMP. Sebuah video sederhana yang
dibuatnya sebagai tugas mata pelajaran Teknologi Informasi, dimana dia merekam
dengan kamera video dan mengeditnya secara sederhana. Tujuan suami saya
memutarkan video tersebut, tanpa menyebut itu adalah hasil karya anaknya
sendiri, adalah untuk memotivasi anak-anak SD tersebut bahwa belajar informasi
dan teknologi tidak sesulit bayangan mereka, dan menjadi pembuat film bisa
menjadi pilihan profesi bagi mereka yang menyukai seni. Bali dan terutama Indonesia, tentu akan sangat
memerlukan pekerja seni profesional yang bisa membuat film dokumenter indah
tentang keragaman dan kekayaan budaya kita untuk bisa dipresentasikan kepada
dunia internasional.
Hal yang berkesan saat memutarkan video
tersebut, yang pada bagian akhirnya dimasukkan instrumentalia lagu “Tanah
Airku” oleh pembuat video, adalah saat beberapa anak ikut bernyanyi dan pada
akhirnya mengundang seluruh kelas bernyanyi lagu nasional tersebut secara bersama-sama
tanpa ada yang memberi komando. Indah dan nasionalis. Sebuah akhir Kelas
Inspirasi Bali yang sangat manis dan berkesan.
Tentu, kami sangat senang karena di luar
perkiraan kami, anak-anak SDN 3 Pengotan sangat antusias dan responsif
menanggapi kelas yang kami berikan. Mulai dari kelas 1 sampai dengan kelas 6,
mereka serius menyimak setiap perkataan kami dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang kami ajukan. Memang, selayaknya anak-anak, adanya penghargaan berbentuk
hadiah, membuat mereka terdorong untuk maju ke depan kelas menunjukkan kebisaan
mereka dalam bernyanyi, menari ataupun sekedar berbicara memperkenalkan diri.
Tapi, kami rasa, anak-anak di seluruh dunia, dari status sosial ekonomi
manapun, akan responsif bila diberikan penghargaan. Jangankan anak-anak,
kitapun demikian, kan?
Pada akhir hari, setelah acara seremonial
sederhana di depan ruang guru dimana Kepala SDN 3 Pengotan dan Koordinator
Kelas Inspirasi Bali memberikan sambutan penutup dan kami selaku pembawa acara
‘dadakan’ menyilakan anak-anak untuk kembali pulang ke orang tuanya
masing-masing, mereka terdiam. Anak-anak itu tidak bergerak, lalu menoleh ke
kanan dan ke kiri, sulit untuk melangkahkan kaki meninggalkan kami. Reaksi
terakhir ini membuat kami sadar bahwa tugas memberikan inspirasi, walaupun
terdengar besar, namun ternyata mudah jika dilakukan dengan tulus dan senang
hati. Kelas Inspirasi ini juga membuat kami terinspirasi untuk selalu
memberikan inspirasi positif, di mana pun kami berada, melalui apapun yang kami
kerjakan.
*******
A.A.I. Nirmala Trisna & Abdes Prestaka
Business
Owner, KITASATUBALI MarketingCommunication
Abdes (foto atas) dan Nirmala (foto bawah), dengan suasana di dalam kelas, serius dan bersemangat!
(Searah jarum jam) Anak-anak yang gembira, para asisten kelas menyiapkan peralatan, dan Pak Guru yang meminta siswa tampil di depan kelas.
Foto atas: Para siswa SDN 3 Pengotan bersama Karim dan Nurni dari KITASATUBALI. Thanks for your assistance and support, guys!
Foto bawah: Dua siswi serius menyimak Pak Guru.
No comments:
Post a Comment