Pages

Jun 15, 2013

A Testimony from our Visit to Bangli's Elementary School

*the write-up is in Indonesian, as a report to the Kelas Inspirasi, a non-government movement to inspire young kids of elementary students in Indonesia to have and build great dreams for their future*


Inspirasi untuk Terinspirasi

Sebuah Testimoni dari Kelas Inspirasi Bali di Bangli, 11 Juni 2013


Memberikan sebuah inspirasi kepada orang lain? Pikiran ini terdengar seperti sebuah tugas besar, dan memberikan pertanyaan ke dalam diri kami seperti ‘apakah sudah pantas kami berbagi tentang apa yang kami kerjakan?’, ‘mungkinkah orang lain bisa tertarik dengan apa yang kami kerjakan?’.

Undangan untuk mendaftar kegiatan sukarela “Kelas Inspirasi Bali” mendorong kami untuk membaca visi dan misi kegiatan ini.  Dari website-nya, kami membaca bahwa Kelas Inspirasi adalah ekses dari Indonesia Mengajar, sebuah gerakan nasional bagi para sarjana yang baru lulus untuk mengabdi sebagai tenaga pendidik di daerah terpencil di Indonesia, yang khusus ditujukan bagi para profesional. Para individu profesional ini harus bercerita di depan kelas di sekolah dasar yang menjadi bagian kegiatan ini, dengan tema utama menceritakan tentang pekerjaan yang digelutinya. Harapan besarnya adalah ‘kisah’ pekerjaan yang dilakukan para profesional ini bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak SD agar berani bermimpi mempunyai cita-cita yang setinggi langit. Latar belakang dan tujuan kegiatan ini akhirnya membuat saya dan suami mendaftar untuk bisa bergabung di Kelas Inspirasi Bali, yang pada tanggal 11 Juni 2013, memilih sekolah dasar di Bangli sebagai tempat Kelas Inspirasi Bali.

Pada akhirnya, saya dan suami bergabung bersama sebagai satu tim pengajar relawan Kelas Inspirasi Bali. Kami menjadi tim dengan dasar pemikiran bahwa saya dan suami bekerja di perusahaan yang sama, sebuah bisnis yang kami bangun bersama dari nol. Kami membawa pesan yang sama bahwa profesi yang bisa digeluti anak-anak ini di masa mendatang mempunyai batasan di angkasa. Kami ingin membuka wawasan anak-anak bahwa ilmu pasti tidak selalu menjadi pegangan pasti kesuksesan manusia dalam hidupnya. Kami membawa bukti bahwa hobi dan kecintaan akan seni, yang ditekuni dengan serius dan tekun, akan menjadi bekal hidup di kemudian hari.

Mudahkah mengajar di hadapan anak-anak sekolah dasar? Kami berdua mempunyai latar belakang sebagai penyiar Radio dan pembawa acara atau MC di panggung. Namun tantangannya sangat berbeda bila hadirin kami adalah anak-anak di bawah umur. Kami mempunyai tiga orang anak, masing-masing berumur 13, 6 dan 1. Berbicara dengan ketiga anak ini memerlukan seni retorika yang berbeda-beda, tentunya. Berbicara dengan anak-anak kecil yang belum bisa membaca, tentu akan lebih mudah jika menggunakan bahasa gambar. Itulah yang dilakukan oleh suami saya, yang memang berlatar belakang disain komunikasi visual.  Gambar-gambar yang menarik kami tampilkan agar dinamika kelas dapat kami munculkan sesuai dengan karakter siswa di setiap kelas. Kami tidak berbicara mengenai definisi sukses kepada anak-anak ini, namun kami membawakan gambar-gambar foto pencapaian perusahaan kami, bergerak di bidang penyelenggaraan acara, yang menangani berbagai acara internasional , bahkan dibuka oleh Presiden Republik Indonesia.

Acara kami pagi tersebut diawali dengan berbicara di hadapan anak-anak kelas 1 SD, yang tidak semuanya bisa membaca dan berbahasa Indonesia dengan baik.  Ditanya apakah tahu artinya ‘cita-cita’, anak-anak tersebut tidak menjawab.  Saya yang bisa berbahasa Bali, dibantu guru kelas, kemudian menerjemahkannya ke dalam Bahasa Bali yang artinya “mau jadi apa kalau sudah besar nanti?”.  Jawaban mereka? Dengan wajah lugu dan suara antusias, mereka berseru ‘polisi’, ‘tentara’, ‘dokter’, ‘guru’, ‘pelukis’, ‘pemain sepak bola’, ‘penari’, hampir secara bersamaan.

Di kelas-kelas berikutnya, di luar profesi favorit (polisi-guru-dokter), muncul cita-cita anak-anak SDN 3 Pengotan sebagai pengusaha sapi, pengusaha bengkel, penggembala domba, pengusaha kue, koki, bahkan pegawai restoran.  Unik! Cara mereka menjawab dan menjelaskan cita-citanya membuat kami selalu berusaha menahan senyum akibat kepolosan kata-kata yang mengalir dari anak-anak Pengotan ini.

Ketika kami tanyakan kepada mereka apakah tujuannya mempunyai cita-cita, kebanyakan anak-anak memang tidak bisa menjawabnya. Di luar dugaan kami, ada 1 atau 2 anak di kelas-kelas yang lebih besar (kelas 5 dan kelas 6), bisa menjawab ‘agar ada tujuan hidup’, bahkan ‘agar tidak jadi pengangguran’. Mungkin jawaban itu didapat dari kelas para relawan sebelumnya yang sudah masuk sebelum kami, tetapi itu artinya mereka mengerti pentingnya memiliki cita-cita.

Kami mengingatkan anak-anak tersebut bahwa setiap cita-cita adalah mulia, namun mereka harus rajin sekolah, bersikap jujur, dan tidak pernah takut untuk berharap.  Kami mengingatkan agar mereka tidak boleh lupa membuat PR, karena itu adalah bagian dari tanggung-jawab sebagai murid.

Di beberapa kelas, suami saya memutarkan video hasil karya anak kami yang duduk di kelas 1 SMP. Sebuah video sederhana yang dibuatnya sebagai tugas mata pelajaran Teknologi Informasi, dimana dia merekam dengan kamera video dan mengeditnya secara sederhana. Tujuan suami saya memutarkan video tersebut, tanpa menyebut itu adalah hasil karya anaknya sendiri, adalah untuk memotivasi anak-anak SD tersebut bahwa belajar informasi dan teknologi tidak sesulit bayangan mereka, dan menjadi pembuat film bisa menjadi pilihan profesi bagi mereka yang menyukai seni.  Bali dan terutama Indonesia, tentu akan sangat memerlukan pekerja seni profesional yang bisa membuat film dokumenter indah tentang keragaman dan kekayaan budaya kita untuk bisa dipresentasikan kepada dunia internasional.

Hal yang berkesan saat memutarkan video tersebut, yang pada bagian akhirnya dimasukkan instrumentalia lagu “Tanah Airku” oleh pembuat video, adalah saat beberapa anak ikut bernyanyi dan pada akhirnya mengundang seluruh kelas bernyanyi lagu nasional tersebut secara bersama-sama tanpa ada yang memberi komando. Indah dan nasionalis. Sebuah akhir Kelas Inspirasi Bali yang sangat manis dan berkesan.

Tentu, kami sangat senang karena di luar perkiraan kami, anak-anak SDN 3 Pengotan sangat antusias dan responsif menanggapi kelas yang kami berikan.  Mulai dari kelas 1 sampai dengan kelas 6, mereka serius menyimak setiap perkataan kami dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan. Memang, selayaknya anak-anak, adanya penghargaan berbentuk hadiah, membuat mereka terdorong untuk maju ke depan kelas menunjukkan kebisaan mereka dalam bernyanyi, menari ataupun sekedar berbicara memperkenalkan diri. Tapi, kami rasa, anak-anak di seluruh dunia, dari status sosial ekonomi manapun, akan responsif bila diberikan penghargaan. Jangankan anak-anak, kitapun demikian, kan?

Pada akhir hari, setelah acara seremonial sederhana di depan ruang guru dimana Kepala SDN 3 Pengotan dan Koordinator Kelas Inspirasi Bali memberikan sambutan penutup dan kami selaku pembawa acara ‘dadakan’ menyilakan anak-anak untuk kembali pulang ke orang tuanya masing-masing, mereka terdiam. Anak-anak itu tidak bergerak, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, sulit untuk melangkahkan kaki meninggalkan kami. Reaksi terakhir ini membuat kami sadar bahwa tugas memberikan inspirasi, walaupun terdengar besar, namun ternyata mudah jika dilakukan dengan tulus dan senang hati. Kelas Inspirasi ini juga membuat kami terinspirasi untuk selalu memberikan inspirasi positif, di mana pun kami berada, melalui apapun yang kami kerjakan. 

*******
A.A.I. Nirmala Trisna & Abdes Prestaka

Abdes (foto atas) dan Nirmala (foto bawah), dengan suasana di dalam kelas, serius dan bersemangat!


(Searah jarum jam) Anak-anak yang gembira, para asisten kelas menyiapkan peralatan, dan Pak Guru yang meminta siswa tampil di depan kelas. 

Foto atas: Para siswa SDN 3 Pengotan bersama Karim dan Nurni dari KITASATUBALI. Thanks for your assistance and support, guys!
Foto bawah: Dua siswi serius menyimak Pak Guru. 




No comments: